Indonesia

[Indonesia] [list]

Sejarah Bangkitnya PKI Pasca Madiun

Aidit, Lukman, Sudisman dan Njoto —dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda—; merupakan pelaku pemberontakan PKI Madiun yang selamat dan kelak dikemudian hari menjadi pelaku G 30 S/PKI. Struktur kepengurusan PKI pimpinan Muso menempatkan Aidit dalam seksi Buruh, Lukman seksi Agitasi dan Propaganda, Sudisman seksi Organisasi dan Njoto seksi Urusan Perwakilan. Sedangkan Letnan Kolonel Untung —pimpinan gerakan militer G 30 S/PKI— merupakan partisipan dalam gerakan militer pemberontakan Madiun[1].
Setelah kudeta Madiun, PKI memanfaatkan tiga situasi kebangsaan —Agresi Militer Belanda II, sistem politik Demokrasi Liberal (1950-1959) dan sistem politik Demokrasi Terpimpin (1959-1965)— sebagai momentum konsolidasi kekuatannya. Agresi Militer Belanda dimanfaatkan kader-kader PKI untuk meloloskan diri dari tindakan hukum (kejaran aparat dan penjara pemerintah) dan tindakan politik (likuidasi dari percaturan politik bangsa). Sistem politik Demokrasi Liberal (1950-1959) dimanfaatkan PKI untuk penguatan basis keanggotaan dan bargaining posisinya dalam percaturan elit perpolitikan bangsa. Sedangkan era Demokrasi Terpimpin —dengan berlindung dibalik superioritas dan kharisma Presiden Soekarno— dipergunakan PKI untuk memperkuat hegemoninya dalam pentas politik nasional, indoktrinasi gagasan revolusioner dan persiapan perebutan kekuasaan.

PKI Sebelum Demokrasi Liberal
Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) hanya terpaut tiga bulan dengan dimulainya pemberontakan PKI Madiun (18 September 1948) atau selang dua minggu sejak pertempuran terakhir antara pasukan RI dengan pasukan pendukung PKI (29 November 1948) di Gua Macan Desa Penganten Kecamatan Klambu Purwodadi atau bersamaan dengan pelaksanaan hukuman mati terhadap tokoh-tokoh pemberontak (Amir Sjarifudin beserta 11 pemimpin PKI) di desa Ngalihan, Karanganyar Solo oleh Gubernur Militer Gatot Soebroto[2]. Setelah aksi penumpasan pemberontakan Madiun, satuan-satuan ketentaraan RI belum benar-benar terkonsolidasi ketika harus menghadapi Agresi Militer Belanda II melalui strategi terobosan yang kuat dan cepat serta didukung peralatan militer yang baik. Soekarno-Hatta dan sejumlah pimpinan pemerintahan —yang menolak gerilya— berada dalam tahanan Militer Belanda. Pimpinan TNI harus segera berangkat ke medan gerilnya dan baru dapat mengonsolidasi seluruh kekuatannya setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 — yang dimotori Letnan Kolonel Soeharto— menuai hasil.
Agresi telah mengalihkan konsentrasi satuan-satuan TNI untuk fokus melakukan perlawanan terhadap Belanda dan hal ini dimanfaatkan sejumlah kader PKI untuk meloloskan diri. Tan Ling Djie —anggota Sekretariat Jenderal PKI bentukan Muso— berhasil meloloskan diri dari penjara Wirogunan Yogyakarta. Aidit berhasil melarikan diri ke Jakarta, menuju Vietnam dan tinggal bersama pasukan Ho Chi Minh serta tinggal beberapa saat di Cina sebelum akhirnya datang lagi ke Indonesia[3]. Sejumlah tokoh pemberontak lainnya juga berhasil meloloskan diri seperti Alimin, Ngadiman Hardjosubroto, Sudisman dan Lukman. Setelah berhasil meloloskan diri, para kader PKI melakukan gerakan bawah tanah dari tempat persembunyiannya masing-masing untuk melakukan konsolidasi kekuatan dan menyusun rencana selanjutnya. Seperti halnya Tan Ling Djie, pada masa pendudukan Belanda (antara Agresi II dan Serangan Umum 1 Maret 1949), bersama Ngadiman Hardjosubroto membentuk Central Comite (CC) darurat di Yogyakarta untuk menghimpun anggota-anggota PKI yang sebelumnya tercecer dalam kelompok-kelompok kecil.
Upaya kader-kader PKI menghidupkan kembali partainya memperoleh momentum tatkala sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) memutuskan untuk tidak melikuidasi PKI dan memberikan hak hidup dalam perpolitikan bangsa. Keputusan KNIP didasarkan pada pendapat yang menyatakan: “partai Komunis diperlukan sebagai Sekutu untuk menetralisasi modal-modal asing Belanda yang ada di Indonesia”. Berdasarkan hasil sidang KNIP itu, tanggal 7 September 1949 Menteri Kehakiman RI memberikan pernyataan: “Pemberontakan Madiun tidak akan dituntut, asalkan mereka tidak tersangkut dalam kejahatan-kejahatan kriminal. Kerjasama orang-orang Komunis diperlukan dalam menghadapi bahaya-bahaya yang datang dari luar. Sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut, pemerintah dapat membenarkan adanya oposisi dalam kehidupan parlementer”[4].
Keputusan KNIP dan kebijakan pemerintah masa itu dapat dipahami sebagai upaya penyatuan elemen-elemen bangsa (baik sipil maupun militer) dalam menghadapi agresi Belanda. Pada saat keputusan itu diambil, pemerintah RI sedang gencar-gencarnya melakukan perjuangan melawan Belanda dalam empat front sekaligus: front militer, front diplomasi bilateral (Indonesia-Belanda), front internasional dan masalah integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Satuan-satuan militer Belanda belum mundur dari wilayah Indonesia dan kekuatan-kekuatan ketentaraan RI harus dimobilisasi untuk mengantisipasi tipu muslihat Belanda.
Pemerintah Indonesia juga masih disibukkan untuk memenangkan perjuangan diplomasi melalui Konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan pada tanggal 23 Agustus s/d 2 November 1949. Mobilisasi dukungan internasional juga terus dilakukan agar turut memberi tekanan kepada Belanda sehingga mengakui kedaulatan Pemerintah Republik Indonesia. Sementara itu semua potensi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil Proklamasi tahun 1945 belum benar-benar terintegrasi, akibat penyempitan wilayah kekuasaan melalui agresi maupun perundingan-perundingan dengan Belanda sebelumnya. Keputusan KNIP menekankan realitas logis jangka pendek dan tentunya tidak ada yang menduga, etikad baik itu dikhianati PKI dengan melakukan kudeta 17 tahun sesudahnya.
Keputusan KNIP segera disambut para kader PKI yanhg segera muncul dari persembunyiannya dan melakukan konsolidasi serta menyusun pleidoi (pembelaan) politik untuk mengembalikan citra partainya. Alimin, tokoh senior PKI —dalam sebuah wawancara dengan wartawan Sin Po tanggal 10 November 1949— menyangkal keterlibatan partainya dalam pemberontakan Madiun dan menegaskan akan menjalankan garis kebijakan “secara hati-hati”. Alimin juga mendorong kader-kader muda PKI untuk belajar di Tiongkok yang salah satunya melalui pengiriman delegasi SOBSI (diketuai Njono) menghadiri Konferensi Serikat-Serikat Buruh Asia dan Australia di Peking tanggal 16 November 1949[5].
Pada tanggal 4 April 1950, Alimin mengaktifkan kembali PKI. Sementara itu pada akhir bulan Juni 1950 sidang pleno CC-Tan Ling Djie di Godean Yokyakarta memutuskan rumusan metode reinkarnasi PKI pasca pemberontakan Madiun, baik dalam hal cara kerja(menitikberatkan kerja tertutup dan kerja terbuka jika kesempatan memungkinkan), bentuk perjuangan (tidak meninggalkan perjuangan bersenjata dan oleh karena itu senjata yang masih ada di tangan tidak akan diserahkan) maupun organisasi (melangsungkan Konggres Partai Sosialis untuk dilebur kedalam PKI). Tan Ling Djie juga menyempurnakan personalia organisasi dengan menempatkan dirinya dalam urusan umum dan agitprop, Abdul Madjid Djoyodiningrat (urusan perburuhan), Djokosudjono dan Yusuf Muda Dalam (urusan perjuangan bersenjata)[6]. Pada bulan Juli 1950, —atas prakarsa Sjam melalui peristiwa Tanjung Priok— Aidit muncul kembali di Indonesia dan melakukan konsolidasi semua potensi kepartaian yang berserak setelah kegagalan Kudeta Madiun.
PKI Era Demokrasi Liberal
Pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia memasuki sistem Demokrasi Liberal —yang berlangsung hingga 6 Juli 1959— dengan menggunakan sistem kabinet parlementer dan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (UUDS 1950). Periode ini diwarnai instabilitas pemerintahan yang ditandai dengan pergantian tujuh kabinet usia pendek[7]. Instabilitas politik ini dimanfaatkan secara baik oleh PKI untuk propaganda rehabilitasi citra kepartaian, konsolidasi organisasi dan mobilisasi keanggotaan.
Petualangan PKI pada masa demokrasi liberal dimulai pada saat konsolidasi organisasi dimana Aidit dan kader-kader mudanya merebut Central Commite (CC) dan politbiro baru pada bulan Januari 1951. Aidit menempatkan dirinya sebagai ketua Politbiro, Lukman ketua II dan Nyoto sebagai ketua III. Sedangkan dalam Central Commite Aidit menempatkan dirinya sebagai Sekretaris Jenderal dengan anggota terdiri dari Lukman, Njoto dan Sudisman. Propaganda rehabilitasi citra partai merupakan agenda pertama dengan menyusun buku putih pemberontakan Madiun[8]. Seterusnya, Aidit mengajukan konsep “Jalan Baru” dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa PKI berjuang melalui garis kelembagaan negara, menggunakan jalan damai dan demokratis dalam tindak-tanduk politiknya, serta menyusun konstitusi PKI yang baru[9]. Aidit juga melakukan propaganda untuk mengesankan bahwa PKI merupakan partai nasionalis, anti kolonialis, bersimpati terhadap agama, bertangung jawab, menentang jalan kekerasan dan pembela demokrasi[10].
Langkah berikutnya melakukan mobilisiasi keanggotaan secara ofensip dengan sasaran kalangan buruh, buruh tani, organisasi veteran, wanita, pemuda, mahasiswa, seniman dan wartawan. Untuk mencuri dukungan dari massa buruh dan tani, Aidit mencuatkan isu “kenaikan upah” dan “perubahan tata guna tanah”. PKI juga melakukan show of forcedalam bentuk aksi-aksi kekerasan massa dan pemogokan masal. Aksi kekerasan berupa penyerangan markas Kepolisian di Tanjung Priok, pelemparan Granat di sebuah pasar malam di Bogor, gerakan pendirian pemerintahan Soviet di Banyuwangi dan Besuki Jawa Timur serta aksi-aksi kekerasan massa di Sumatera Timur. Sedangkan pemogokan masal terjadi di Sumatera (buruh perkebunan), perusahaan-perusahaan strategis (perusahaan minyak, angkutan kereta dan perhubungan udara) dan Jawa Barat (menuntut kenaikan upah).
Aksi-aksi kekerasan dan pemogokan yang digerakkan oleh PKI memaksa Kabinet Sukiman melakukan penangkapan sebagian besar tokoh-tokohnya untuk dijadikan tahanan politik. Kebijakan itu memperoleh protes keras dari PKI, namun dibela Presiden Soekarno dengan pernyataanya pada Pidato 17 Agustus 1951 yang menyatakan “pemerintah telah berketetapan hati untuk mengancurkan gerombolan bersenjata, baik yang digerakkan oleh idiologi tertentu maupun liar, baik yang bersifak kiri maupun kanan, baik yang merah Komunis maupun yang HijauDI-TII)”. Perdana Menteri Sukiman dalam pertanggungjawabannya kepada parlemen mengungkapkan bahwa kebijakan itu diambil setelah cukup bukti meyakinkan adanya gerakan kekerasan yang didalangi PKI untuk membunuh Soekarno-Hatta dan para menterinya. Kebijakan Kabinet Sukiman memaksa PKI untuk kembali menjalankan aktifitas kepartaian secara klandestain (bawah tanah) setelah berusaha bangkit dari keterpurukan pemberontakan Madiun.
Situasi politik segera berubah dengan cepat manakala Kabinet Sukiman mengalami kejatuhan pada tanggal 23 Pebruari 1952. Situasi ini dimanfaatkan PKI dengan menawarkan bargaining politik kepada PNI untuk membentuk kabinet tanpa Masyumi —kompetitor terbesar PNI pada masa itu— dengan kompensasi dukungan rehabilitasi dan reposisi PKI dalam perpolitikan bangsa[11]. Sambutan positif PNI mendorong Aidit muncul dari pelariannya dan bahkan memperkenalkan gagasan “Jalan Demokrasi Rakyat bagi Indonesia”, yaitu pembenaran cara-cara parlementer selain cara-cara revolusioner. PKI juga merumuskan garis perjuangan pengkomunisan masyarakat Nusantara melalui program: (a) membina Front Persatuan Nasional yang berdasarkan persatuan kaum buruh dan kaum tani, (b) membangun PKI yang meluas di seluruh negara dan mempunyai karakter massa yang luas, yang sepenuhnya terkonsolidasi di lapangan idiologi, politik dan organisasi[12].
Selanjutnya PKI berusaha merubah imbangan kekuatan dengan mendefiniskan siapa “kawan”, “kawan sementara” dan siapa “lawan”. Mereka menyebut “empat bukit setan” sebagai lawan yaitu imperialisme-kapitalisme, komprador, kapitalis birokrat dan feodalisme. Dalam menghadapi lawan, mereka menggunakan strategi mengandeng “kawan sementara” yaitu —yang diistilahkan sebagai— kalangan borjuasi nasional yang memiliki kesamaan obsesi ‘kehancuran imperialisme’. Terlepas berlindung dibalik istilah-istilah itu, PKI secara terang-terangan hendak mewujudkan agendanya sendiri yaitu terbentuknya negara Komunis di Indonesia.
Berdasarkan program partai yang dicetuskan melalui Konggres V 1954, PKI menuding sistem pemerintahan RI sampai tahun 1954 merupakan pemerintahan anti Komunis. Demokrasi yang berlaku di Indonesia merupakan demokrasi barat yang dikuasi borjuasi nasional dan oleh karenanya harus diganti dengan sentralisme demokrasi (demokrasi memusat) ala Komunis. PKI juga menganggap ABRI masih menjadi alat untuk “menindas PKI”. Untuk mewujudkan sistem Komunis di Indonesia, PKI menetapkan strategi politik MKTB (Metode Kombinasi Tiga Bentuk). Ketiga metode perjuangan itu adalah: (1) perjuangan gerilya di desa yang para pelakunya kaum buruh tani dan tani miskin, (2) perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh dibidang transportasi, (3) bekerja secara intensif di kalangan musuh, terutama kalangan Angkatan Bersenjata.[13]
Melalui agitasi dan propaganda secara gencar serta janji-janji manis terhadap kalangan buruh (kenaikan upah) dan petani (perubahan tata guna lahan menurut versinya), PKI menempatkan dirinya sebagai partai terbesar keempat —setelah PNI, Masyumi dan NU— pada tahun 1955 dengan mendulang enam juta pemilih. Kemenangan PKI juga ditopang kemampuan propagandanya mengesankan diri seolah-olah sebagai pembela Pancasila, menempatkan sosok kharismatik Soekarno sebagai satu-satunya calon Presiden dan menampilkan dirinya sebagai sosok pembela rakyat kecil.
Kedok PKI sebagai pembela Pancasila menjadi terbuka tatkala atmosphere kemenangan pemilu 1955 berusaha dimanfaatkan sebagai momentum dekonstruksi idiologi negara untuk ditarik kedalam peta Komunis dunia. Sidang Pleno CC PKI tahun 1957 mengesahkan konsep “Masyarakat Indonesia Revolusi Indonesia” (MIRI) sebagai road map membawa Indonesia kedalam sistem Komunis. Pada tahun 1958, dibalik kedok dukunganya terhadap Pancasila, PKI mulai melancarkan propaganda perubahan substansi Pancasila melalui sidang konstituante. Mereka berusaha mengganti sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan rumusan “kemerdekaan beragama”. Menurut mereka, tidak semua masyarakat Indonesia beragama monotheis, karena tidak sedikit pula merupakan penganutpolitheis dan bahkan ada yang atheis[14].
PKI Era Demokrasi Terpimpin
Sidang konstituante untuk menyusun UUD pengganti UUDS tidak pernah mencapai kata sepakat, sehingga mendorong Presiden Soekarno mempraktekkan Demokrasi Terpimpin. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (yang juga didukung ABRI) pada awalnya diharapkan menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk kembali kepada kemurnian UUD 1945. Momentum itu dibajak dan dibelokkan PKI —dengan berlindung dibalik pengaruh Presiden Soekarno— kearah sentralisme demokrasi sebagaimana dianut negara-negara Komunis. Konsepsi revolusi ala Komunis digelorakan sebagai panglima dan mulai menenggelamkan falsafah Pancasila yang pada semangat awalnya akan dijadikan acuan kembali dalam proses penataan bangsa.
Pembelokan arah demokrasi terpimpin diawali dengan masuknya Aidit menjadi panitia kerja perumusan GBHN yang substansi materinya diambil dari Pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1945 dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Kesempatan itu dimanfaatkan Aidit memasukkan konsepsi dan strategi mewujudkan masyarakat Komunis Indonesia —yang dikenal dengan konsep “Masyarakat Indonesia Revolusi Indonesia” (MIRI)— kedalam GBHN. Elaborasi MIRI kedalam GBHN —kemudian dikenal dengan “Manifesto Politik Indonesia” (Manipol)— merupakan rute paling pendek bagi PKI pada masa itu untuk mewujudkan sistem Komunis yang disebutnya sebagai “Tahap Nasional Demokrasi dan Tahap Sosial Demokrat”. Maka tidak heran apabila dalam hari-hari berikutnya, PKI memperjuangkan realisasi Manipol dan menuding para penentangnya sebagai penentang revolusi Indonesia.
Pemanfaatan Presiden Soekarno oleh PKI pada awalnya didasarkan pada kebutuhan aliansi taktis atas dasar prinsip saling membutuhkan diantara keduanya. Soekarno ingin menuntaskan cita-cita proklamasi 1945 untuk menjadi Indonesia sebagai negara kuat, mandiri dan menjadi pemain penting dalam percaturan dunia. Keinginan itu terbentur lemahnya dukungan negara-negara barat sebagaimana tercermin dalam kasus Irian Barat yang penyelesaianya dalam diplomasi internasional terkatung-katung lebih dari 10 tahun. Negara-negara barat juga kurang memberikan dukungan pengadaan persenjataan dalam rangka mobilisasi umum pembebasan Irian Barat.
Presiden Soekarno juga dihadapkan pada realitas kebutuhan dalam negeri berupa dukungan semangat juang rakyat yang menggelora untuk melakukan perlawanan terhadap kepentingan barat yang tidak mendukung kepentingan Indonesia (misalnya untuk memboikot perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia). Fakta tersebut memaksa Soekarno “merawat” PKI —sebagai anak emas Blok Timur (Komunis)— agar dapat menarik dukungan negara-negara Blok Timur membela kepentingan Indonesia menghadapi kekuatan Barat. Soekarno juga memerlukan massa PKI yang reaksioner untuk sewaktu-waktu dimobilisasi memberikan dukungan agenda-agendanya (misalnya dalam masalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang ada di Indonesia).
Uluran tangan Presiden segera disambut PKI dengan memanfaatkan balik kharisma dan superioritasnya untuk melindungi agenda dan kepentingannya. Pimpinan PKI tentu sudah menghitung jika mereka akan lebih didengar suaranya oleh negara-negara Blok Komunis (terutama RRC dan Soviet) ketimbang Presiden Soekarno yang sedang mengais dukungan dari negara-negara itu untuk dipergunakan melawan barat. Presiden sewaktu-waktu dapat “disandera” PKI melalui tekanan internasional (Soviet atau RRC) maupun dengan desakan massa partainya apabila kurang memberikan dukungan terhadap agenda maupun kepentingannya. Atas dasar pertimbangan itu dapat dipahami jika PKI menganggap aliansi dengan Presiden Soekarno merupakan “koalisi sementara” dengan kalangan “borjuasi nasional” yang akan memberi banyak keuntungan strategis. Kerjasama dengan kalangan nasional dan non Komunis dibenarkan dalam doktrin Stalin sebagaimana diputuskan dalam konggres Bolshevik ke 19 (5-14 Oktober 1952). Sementara itu Presiden Soekarno —sebagaimana karakter yang melekat pada dirinya— sangat percaya diri dan meyakini akan mampu mengatasi “kenakalan PKI”[15].
Kemesraan mencolok antara Presiden dengan PKI terjadi sejak tahun 1960, dimana Aidit dilibatkan sebagai anggota delegasi resmi tatkala Presiden Soekarno tampil dalam Sidang majelis Umum PBB (1960). Aidit juga dijadikan anggota delegasi konferensi Non Blok di Beograd serta mendampingi Presiden Seokarno menemui John F. Kennedy untuk menyampaikan pesan perdamaian (1961). Tidak hanya Aidit, tokoh-tokoh utama PKI (Lukman dan Njoto) juga sering diberi tugas untuk mengemban misi internasional oleh Presiden Soekarno. Pemberian kepercayaan ini merupakan sesuatu yang tidak lazim dilakukan sebelum tahun 1960.
Melalui strategi “koalisi sementara”, PKI semakin leluasa menyalurkan gagasan revolusuionernya melalui pidato-pidato Presiden yang disusun oleh Nyoto, seorang kadernya rangking ketiga, yang berhasil disusupkan sebagai ghost writer’s naskah pidato Presiden. Walaupun belakangan oleh Aidit dianggap lebih Soekarnois dari pada Komunis, fakta keberadaan Nyoto sebagai pengurus CC PKI (dibawah pimpinan Muso dan Aidit) tidak bisa menyembunyikan jati dirinya sebagai idiolog ajaran Komunisme.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :